Sampah Fashion VS Eksistensi Sustainable Fashion di Indonesia
Sampah Fashion VS Eksistensi Sustainable Fashion di Indonesia - Siapa yang demen belanja baju setiap hari? Ada model kekinian sedikit langsung beli, ada motif atau corak dan gambar baru langsung check out? Hehehe ... dan mendekati musim lebaran makin banyak lagi fast fashion, berlomba-lomba dari perusahaan satu dan yang lainnya. Padahal bisa disiasati tidak perlu membeli, tetapi dengan memadupadankan baju lama yang masih baru dan menumpuk di lemari.
![]() |
Sampah Fashion VS Eksistensi Sustainable Fashion di Indonesia |
Faktanya dari Tinkerlust Impact Report 2022 mengungkapkan ada 63,46% masyarakat Indonesia suka membeli produk fast fashion. Alasannya tidak ingin ketinggalan jaman, atau ingin tampilannya fashionable. Sementara data dari Global Fashion Agenda 2023 mencatat, ada sampah fashion berjumlah 92 juta ton yang menumpuk di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) pada setiap tahun. Yang mana sampah fashion ini sukar terurai. Dampaknya lingkungan dan ekosistem jadi terganggu yang berakibat lagi, kembali ke pengguna, ya manusianya itu sendiri.
Mirisnya tidak sampai di situ, bahkan sampah fashion akan terus meningkat hingga 2030, sebanyak 63% menurut The Sustainable Fashion Forum. Terus, gerakan apa yang bisa kita lakukan untuk menghambat paling tidak, hal tersebut terjadi? Karena kita tidak bisa bergerak menuntaskannya saat ini juga. Bahkan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) melalui SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional), belum dapat mengatasi hal tersebut.
Eksistensi Sustainable Fashion di Indonesia
Untunglah dibalik carut marutnya sampah fashion ini, ada banyak sustainable fashion yang masih eksis, dan terus menggaungkan industri fashion menggunakan proses yang berkelanjutan serta ramah untuk lingkungan. Yang mana tidak hanya dari segi fashion sendiri, tetapi berlanjut hingga sektor alam baik itu kebersihan, kelestarian, dan juga keberlangsungan hidupnya.
Sudah tahu faktanya di dunia kan? Bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-5 sebagai negara yang menyumbang sampah terbesar! Yes, sumber ini berasal dari Atlas Tujuan Pembangungan Berkelanjutan 2023 yang dipunyai oleh Bank Dunia. Ngeri rek! Hanya dari sampah fashion lho, belum yang lain-lainnya.
Untungnya saya diajak makin melek oleh komunitas #EcoBloggerSquad di hari Jumat lalu, melalui zoom dengan tema "Fashion Reimagined: Upcyling Waste indo Wearable Art. Ada dua narasumber hari itu, Kak margaretha Mala, Srikandi Pelestari Tradisi dan Konservasi, dan Kak Novieta Tourisia dari @cintabumiartisans.
Sungguh sangat salut dengan kedua srikandi yang terus berusaha untuk bisa menjaga lingkungannya, dengan fashion yang berkelanjutan yang meminimalisir penggunaan sampah fashion baru. Dengan memaksimalkan apa yang sudah alam beri, untuk manusia. Nah berikut sedikit rangkumannya:
1. Margaretha Mala (Ketua Komunitas Tenun Endo Segandok)
Kak Mala menceritakan kepada kami @Ecobloggersquad di mana Nenun, adalah tradisin nenek moyang dari Suku Dayak Iban. Kegiatan Nenun sudah diwariskan dari leluhur suku Dayak Iban, dari jaman dahulu. Kain tenun tersebut diolah dari lembaran-lembaran benang yang sudah diwarnai menggunakan perwarna alam.
Pewarna alam sendiri berasal dari tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar rumah betang (rumah panjang), hutan, dan juga kebun-kebun masyarakat. Sayangnya belakangan kebanyakan anak-anak mudanya, banyak yang meninggalkan tradisi tersebut dan bahkan tidak mengerti soal Nenun. Oleh sebab itu Srikandi satu ini, Margaretha Mala terpanggil dan termotivasi belajar kembali dan mengajarkan tradisi Nenun kepada anak-anak muda, pelajar, dan sesiapa saja yang ingin belajar Nenun.
"Dengan menenun, berarti saya ikut berperan serta dalam melestarikan nilai-nilai luhur budaya dan tradisi Suku Dayak Iban, khususnya Nenun," ungkap Kak Margareta Mala.
Saya juga mengenal yang namanya tradisi "Nakar (perminyakan)". Dan proses nakar ini, harus dilakukan oleh orangtua yang sudah beruban dan berumurur lebih dari 60 tahun.
2. Novieta Tourisia (Founder Cinta Bumi Artisan)
“Ada ruang bagi setiap orang dan kontribusinya untuk menjaga sustainability atau keberlanjutan yang bisa diupayakan baik secara individu maupun kolektif.” - Novieta @Cintabumiartisans
Ya, narasumber kedua adalah kak Novieta, yang mewakili dari omunitas Cinta BUmi Artisans. Ia membagikan pengalamannya dalam pembuatan produk eco print, tidak hanya dari pakaian, tas, buku, syal, dan lain sebagainya.
Yang kita tahu sampah daun atau bunga, bahkan batang kayu biasanya tidak hanya jadi sampah kompos ternyata bisa dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami di industri fashion. Materialnya juga tidak harus baru, biasanya dari pakaian yang sudah tidak terpakai. Namun bukan berarti tidak layak pakai, justru dari pakaian yang sudah ada dan tidak terpakai ini akan dikreasikan lagi menjadi produk dengan nilai jual lebih tinggi yang menggunakan pewarnaan alami dari alam.
Baik daun, bunga, atau batang kayu yang ternyata bisa digunakan, Kak Novieta berinisiatif bersama komunitas menanam kembali tanaman tersebut. Ada tanaman kenikir, indigo, harendang, dan dedaunan yang lainnya. Pun bahan pakaian yang digunakan bisa dari katun, linen, maupun sutra. Sementara harga jual akan mengikuti harga kainnya.
Dengan kata lain, mari kita galakkan juga gerakan fashion susitainable berkelanjutan yuk! Dari yang kita mampu saja dulu, nggak harus gebrakan yang besar. Misalnya dengan cara tidak membeli baju, kita juga turun mengurangi sampah fashion dan lain sebagianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir ke blog sederhana saya, salam hangat