3 Puisi dalam Isi Buku Puisi Batu Ibu, Warih Wisatsana
3 Puisi dalam Isi Buku Puisi Batu Ibu, Warih Wisatsana - Saya tertarik membaca buku puisi berjudul 'Batu Ibu' oleh Warih Wisatsana, jujur karena label buku puisi ini yang masuk ke dalam 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 kategori puisi.
Memang sih saya bukan pecinta puisi sejati, tapi saya suka membaca buku orang-orang yang menulis puisi. Mereka begitu lihainya meramu kata-kata dan menyembunyikan maknanya.
Warih Wisatsana merupakan penulis yang sudahd menulis dari puisi sejak SMP, tidak heran jika buku pusinya Batu Ibu ini masuk ke dalam jajaran 5 besar. Perjuangannya menulis tidak mengkhinati hasil.
Luar biasanya lagi, buku Warih Wisatsana sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Jerman, Inggris, Portuga, dan Prancis. Salah satunya adalah buku puisi yang berjudul Pelajaran Pertama Seorang Aktor, dimuat buku besar The Five Continents of Theatre sutradara legendaris dunia, Eugenio Barba bersama peneliti Nicola Savarese.
Berikut Cuplikan 3 Puisi dalam Buku Batu Ibu oleh Warih Wisatsana
1. Kaki Candi
Hamparan dinding ini penuh pahatan tak selesai
atau sengaja ditinggalkan penciptanya
agar waktu kelak menyempurnakannya
bunga padma menggenang dalam telaga
wajah welas asih sunyi semadi di tepi
raja hening dalam bayangan purnama
bagaimana memahami ini
prasasti kikis oleh hari
sebagian huruf lenyap
sebagian siratan senyap
hanya perahu tanpa layar terpancar lengang
dalam balutan lumut meruang di dinding
menungguku berlayar ke masa lalu
di mana segala mula luluh mewaktu
namun bukan patung singa atau naga
membayangi ingatan sepanjang pulang
hanya seekor katak melayang hampa di udara
juga sebatang pohon menua tinggal rangka
2. Puisi Oktober untuk Tilem
Baru saja aku terpana
oleh matanya yang jenaka
Baru saja ibunya yang jelita
bertanjak sejenak meninggakannya
Bayang si anak seketika itu melayang
luluh begitu cepat menembus dinding
Malam yang puing
hanya menyisakan dongeng
Di bahunya yang hangus
tak tumbuh sepasang sayap
yang menjanjikan surga
Tuhan yang kadang tak bernama
perkenankan aku tak memahamimu
3. Hikayat Seekor Burung
Sewaktu gungung meletus
seekor burung menyelamatkan diri
terbang di celah ranting
dan pohonan yang puing
terbang membayangkan
biji padi menguning
di ladang yang jauh yang lengang
menyelinap menyusup
ke liang batu
lalu terkubur lahar di situ
mati perlahan-lahan
melamunkan wajah tuhan
dari belukar terdengar samar
isak anak burung yang lapar
Bagaimana setelah membaca tiga puisi karya Warih Wisatsana? Begitu dalam dan memikat bukan? Masih ada banyak puisi di dalamnya yang syarat makna dan mengajarkan kita pemahaman yang lain dari berbagai sisi.
Detail Buku Batu Ibu oleh Warih Wisatsana
Judul : Batu Ibu
Penulis : Warih Wisatsana
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Rilis : 23 September 2019
Jumlah Halaman : 116 halaman
Harga : Rp 64.900
Media Baca : Gramedia Digital
Bahasa : Indonesia
Negara : Indonesia
Sinopsis:
Tamatlah sehari yang riang bagi kadal yang bercinta di batuan. Sehari yang murung untuk elang gunung yang kasmaran sendirian Sehari yang menyusup ke dalam telinga membujuk siapa pun untuk percaya bahwa kita hidup di negeri maya dunia ketiga di mana rawa-rawa dan muara digenangi pestisida Dan di tepi jagat raya, bumi baru telah tercipta menunggu datangnya penghuni pertama Manusia yang bukan kiasan atau tiruan dari surga
****
“Suatu ketika ia merasa bahwa disiplin kerja seorang penyair serupa dengan arkeolog. Atas dasar pergumulan itulah Warih mencoba mengangkat hikayat-hikayat tentang sebuah candi, patung, dan artefak lain dalam puisi-puisinya dalam buku Batu Ibu.”
—TEMPO
Demikian cuplikan 3 puisi dalam Buku 'Batu Ibu' oleh Warih Wisatsana, jika penasaran selengkapnya bisa dibeli di toko buku terdekat. Saya membaca buku puisi online ini melalui Gramedia Digital. (*)
Ahhhh, kalau baca puisi selalu terasa syahdu deh mba, terus tep harus tiati takut mellow hahaha, dasar aku cancerian :|
BalasHapusBaca ini aku jadi kangen baca puisi bareng Malam Puisi huhu