Kampung Budaya Sindangbarang | Upaya Panjang Merawat Kebudayaan Tua untuk Terus Hidup
Kampung
Budaya Sindangbarang | Upaya Panjang Merawat Kebudayaan Tua untuk Terus Hidup - "Assalamualaikum Nyi, kalau kepilih
ikutan acara IDC di Bogor, bisa hadirkah?" Sebuah chat WhatsApp dari Teh Dedew masuk pada
tanggal 21 Agustus 2019, siang. Sementara saya baru membacanya satu jam
setelahnya, karena sedang berkendara.
Flyer Telisik Kampung
Budaya Sindang Barang, mengusik saya setelah dishare salah seorang teman di
group WhatsApp. Saya urung mendaftar, karena sedang fokus ikutan akademi
instagram di Jogja dengan usaha souvenir yang saya ajukan. Tetapi tiga hari
sebelum acara diselenggarakan, ID corners membagikan kuis berhadiah untuk 3
orang yang beruntung. Gratis!
Galau plus penasaran, akhirnya gambling.
Dapet berangkat nggak dapet ya ke Jogja. Alhamdulillah
Allah kasih kepercayaan dan syukurlah akademi instagram di Jogja bisa
diwakilkan oleh mas suami, meski sebenarnya saya mau ngajak suami ikutan
#TelisikBudaya juga. Akhirnya kami berdua berpisah dan bertolak dengan
perjalanan masing-masing dengan tujuan sama 'ngangsu ilmu'. Rejekinya lagi Allah kasih saya teman seperjalanan,
yang berasal dari kota yang sama, Zain.
Part 1
Setiap Perjalanan
selalu memberikan pengalaman dan cerita berbeda
Kampung budaya Sindang Barang di Kota
Bogor, menjadi tujuan perjalanan kali ini. Bersama IDcorners saya diajak untuk
mengenal lebih dekat kampung budaya, yang terus menjaga warisan kebudayaan
leluhurnya. Tidak hanya itu, kami peserta Travel
Photography & Blog Workshop, akan diajak ke 'Rumah Sutera', tempat
dimana kain sutera berawal dari ribuan ulat yang sengaja diternakan. Kedua
destinasi tersebut, belum pernah sekalipun saya nikmati. Betapa beruntungnya
saya, thanks IDcorners atas kesempatan yang diberikan.
Ditemani naga besi perjalanan saya
ke Bogor harus singgah dahulu ke Jakarta, alhamdulillah
ada sahabat blogger yang dengan baik hati menjemput kami di Stasiun Senen
Jakarta dan mengizinkan kami bermalam di rumahnya. Terima kasih Doel, pertemuan
di Pekalongan ternyata memberikan serial untuk perjalanan hebat yang lainnya
dan terima kasih untuk traktiran nasi kapaunya!
Pagi harinya kami harus naik grab menuju
stasiun Manggarai, di sana kami bertemu lagi dengan sahabat blogger yang sudah
saya kenal setahun lalu di Jember. Terima kasih Kang Aip! Selalu jadi guide handal tak terduga. Ternyata tidak
hanya percintaan yang memiliki takdir jodohnya, demikian juga dengan
persahabatan. Sepanjang perjalanan menuju Bogor, cerita demi cerita bergulir
dan Kang Aip selalu bisa menghangatkan suasana.
Part 2
Halo Bogor Kota
Seribu Angkot
Ini kali kedua saya menginjakkan kaki ke
Kota Bogor, sebelumnya saya pernah mengikuti WWA (Workshop Writerpreneur Accelerate) Bekraf di Bogor dan sayangnya
saya belum sempat explore karena full kegiatan di ruangan hotel Padjajaran.
Berbeda dengan perjalanan kali ini, saya akan explore kampung budaya dan rumah
sutera.
Tiba di stasiun Bogor, kami berjumpa
dengan peserta lain yang datang dari kota-kota berbeda. Ah ... senangnya, dapet teman dan saudara baru. Setelah
mengabadikan beberapa jepretan dan bersalaman, kami menuju ke luar parkiran.
Sudah dipastikan sepanjang emperan jalan di depan stasiun Bogor, dihuni oleh
penjaja makanan khas Bogor. Ada asinan, ada cemilan gorengan, ada tahu-tahuan,
warung kopi, warung makan yang senantiasa tak pernah sepi.
Angkot yang didominasi warna hijau
tersebut, membawa kami melewati jalan perkotaan sampai dengan ke kabupaten
Bogor, letak di mana Kampung Sindang Barang berada. Dua angkot dan satu mobil
beriringan, terus mengikuti jalan yang datar dan berliku-liku. Puncaknya kami
disuruh turun, karena angkot bapak tua yang kami naiki tidak kuat membawa kami
menanjak, hahaha ... beberapa kali
kami harus turun, menguji nyali dan fisik. Ada satu peserta yang lagi hamil
pula, Kak Dian Ismaya yang duduk di depan bersama bapak sopir angkotnya. Saya
melihatnya dengan penuh deg-degan, meski bibirnya melemparkan senyuman saya
tahu dia sedang memegangi erat perutnya dengan mengerutkan dahi karena tegang.
Dari parkiran kami masih harus jalan
kaki kurang lebih 5 menit-an. Samar-samar suara angklung yang dimainkan tampak
terdengar beriringan, menyambut kami yang berdatangan. Beberapa ibu-ibu yang
sudah sepuh, dengan lihai memainkan angklung di pintu depan Kampung Budaya
Sindang Barang. Halaman yang sangat luas dengan rumput yang kehijauan,
memaparkan betapa kampung budaya ini begitu terjaga kebersihannya. Di sisi
kanan terbangun rumah-rumah tradisional, terbuat dari kayu. Ada yang sudah
berdiri lama, dan ada yang sedang dalam pembangunan yang akhirnya saya tahu
rumah tersebut bernama Leuit ( tempat
untuk menyimpan padi).
Part 3
Mengenal Sejarah
Kampung Budaya Sindang Barang Bogor
Kampung budaya Sindangbarang adalah
kampung tertua di wilayah kota Bogor. Dari jaman kerajaan Sunda abad ke XII,
kampung ini sudah ada. Menurut sejarah yang saya baca, Sindangbarang merupakan
kerajaan bawahan dari Prabu Siliwangi, dengan Kutabarang yang menjadi
ibukotanya. Dahulu Sindangbarang menjadi keraton tempat tinggal salah satu
istri dari Prabu Siliwangi, yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda.
Dengan latar sejarah yang melegenda dari jaman leluhur tersebutlah,
Sindangbarang sekarang mejelma menjadi kampung budaya yang akan meneruskan
warisan dari nenek moyangnya.
Saya sempat berhenti sejenak,
menyaksikan kampung budaya Sindangbarang sebelum suara mbak Dona
memanggil-manggil kami untuk lekas berkumpul. Bola mata dan tubuh saya bergerak
memutari halaman kampung budaya Sindangbarang. Nggak sabar apa yang akan
Sindangbarang sajikan hari ini untuk saya dan peserta #TelisikBudaya.
"Ayok kumpul dulu," seruan
mbak Donna menyadarkanku untuk lekas merapat ke tempat yang ditunjuk. Semacam
gardu di tengah sawah, tapi dalam skala yang besar dan baru saya tahu namanya
adalah Imah Gede. Dahulu Imah
Gede ini digunakan untuk tempat berkumpul dan bermusyawarah dengan tetua
adat dan kokolot (sesepuh kampung Sindangbarang).
Selain Imah Gede, di kampung budaya Sindangbarang ada rumah-rumah kecil (leuit)
yang berjejer tanpa pintu, tetapi mempunyai jendela di sisi bagian depan atas.
Dimana rumah kecil tersebut, memiliki fungsi untuk menyimpan hasil panen di
jaman leluhur. Kemudian di sebelah leuit ada
yang namanya Bale Pesanggerahan, rumah inilah yang dijadikan tempat
penginapan untuk tamu kehormatan yang menginap di Sindangbarang. Ada juga Bale
Pertirtaan, rumah pajang yang digunakan untuk menjual souvenir karya
dari masyarakat Desa Pasir Eurih dari kampung budaya Sindangbarang.
Walaupun saya kemari pas tidak dalam
acara Seren Taun, setidaknya saya sudah merasa berbangga hati pernah
singgah di Sindangbarang ini. Seren Taun
adalah acara setahun sekali yang diadakan di kampung budaya Sindangbarang,
sebagai rasa syukur atas kelimpahan hasil panen yang diberaikan oleh Sang
Pencipta. Sebagai wujud keseimbangan kosmologi, antara manusia dengan Tuhannya,
dan manusia dengan alamnya. Seren Taun
biasanya dilaksanakan selama tujuh hari bertutrut-turut lho, jadi jika kalian
ingin menyaksikan harus sudah mulai kepo-kepo dari sekarang kapan Seren Taun akan berlangsung.
Menyambangi Sindangbarang, membuat jiwa
mencintai tanah air saya semakin tumbuh meninggi. Betapa banyak budaya yang di
miliki Indonesia tercinta dan beragam kesenian tradisionalnya. Yang sudah
semestinya kita lestarikan agar dikenal oleh anak, cucu dan cicit kita
nantinya.
Part 4
Belajar
Mengabadikan Momen dalam Jepretan Kamera bersama Uni Rayi
Imah Gede menjadi saksi tempat kami
berkumpul, orang-orang yang haus akan ilmu dari belahan bumi berbeda duduk
bersama, saling menyilangkan kaki menantikan guru-guru kami memberikan petuah
pembelajaran. Mata kami terfokus kepada kedua sosok fenomenal yang dimiliki
Indonesia, untuk mereka berdua pula alasanku datang ke Bogor. Uni Raiyani yang
mahir dalam bidang Travel Photographer
dan Mbak Donna yang jago perihal travel
blogger. Jam terbang mereka yang tinggi membuat saya dan peserta mengagumi
keduanya.
Ini kali pertama saya bertemu Uni Rai,
begitu mbak Donna sering memanggil Raiyani Muharramah. Travel Photographer yang sudah melanglang buana sampai mana-mana,
dengan balutan hijab berwarna abu-abu dan kaos merah sesuai dengan dress code hari itu begitu ramah
menyambut kami. Uni Rai juga mengenakan bawahan celana berwarna senada dengan
hijabnya, tampak serius membagikan ilmu kepada peserta Travel Blog & Photography Workshop. Saya langsung mendekat,
tidak ingin kehilangan momen belajar yang entah kapan akan saya ikuti kembali.
Meskipun saya belum memiliki kamera
miroless ataupun DSLR, saya tidak malu belajar. Setidaknya minimal tahu
dasarnya lahya, hehehe ... semoga next time kamulah orang yang beruntung
menimba langsung ilmu dari Uni Rai, dan semoga ilmu dari Uni Rai yang saya
share di blog ini bisa sedikit membantu dalam menyajikan jepretan yang ciamik
dalam postingan foto di blog. Ini dia tips memotret dari Uni Rai, Travel Photographer idola:
Uni Rai mengakui jika postingan blog
yang sering dibacanya, sudah tidak diragukan lagi kemampuan dalam menulisnya.
Tetapi yang sering bikin beliau gemes adalah, "Kenapa fotonya begini amat
ya? Kenapa nggak ngambil foto yang lebih serius?" Yang dimaksud Uni Rai di
sini, adalah seringkali foto diambil dengan keadaan horizontal saja ya kan?
Termasuk saya pun demikian, mengambil foto dalam satu angle saja. Ternyata dari sisi seorang fotografer, foto yang baik
adalah foto yang menampilkan dari berbagai sudut yang berbeda. Baik dalam
posisi vertikal maupun horizontal. Jadilah saya baru ngeh, kenapa foto-foto
yang sering menang lomba seringkali sudut pandangnya dari berbagai penjuru tak
terduga. Uni Rai mengelompokkan pengambilan gambar ada 3 posisi, eye level, high agle dan low angle. Definisi ketiga
pengelompokkan angle tersebut adalah :
Eye
level,
menjadi sudut pandang pengambilan angle foto yang sudah umum digunakan oleh
orang-orang dalam mengambil objek yakni sejajar. Layaknya kita melihat objek
searah mata kita.
Low
angle,
pengambilan memotret dimana kameranya di posisikan lebih rendah dari objek
berada. Biasanya pemotretan ini mengambil sudut yang bisa melihat langit. Uni
Rai pun memerlihatkan hasil jepretannya, ketika memotret tari-tarian di Papua
sana dengan memerlihatkan penari dari posisi bawah dan langit yang cerah.
High
angle,
sudut pemotretan yang dilakukan dari atas. Jadi kameranya memiliki posisi yang
lebih tinggi dari objek, misalnya foto pemandangan.
Selain membagikan pengalaman memotret,
Uni Rai juga memberikan cara pengaturan mode kamera yang pas dengan fujifilm.
Alhamdulillah semua peserta yang tidak memiliki kamera, dipinjami kamera
Fujifilm, sebagai sponsor acara dalam memotret kali ini. Keren! Sayangnya saya
nggak bawa SD card, jadilah kembali menggunakan kameran henpon sendiri. Uni Rai juga memberikan tips bagaimana
mengatur kamera yang benar, dari mengatur ISO-nya, mengatur speed, aperturenya dan diagfragma untuk menghasilkan foto model ngeblur
gitu. Dalam satu kamera, Uni Rai juga terbiasa memotret dan memvideo secara
bersamaan. Sebagai seorang travel
fotografer beliau sudah terlatih, dan Uni Rai menyarankan agar kita sebagai
seorang yang bergerak dibidang konten foto dan tulisan juga harus tahu mana
yang pas dimasukan dalam video, mana yang hanya untuk difoto. Karena kekuatan
foto terletak di angle dan timing, begitu ungkap Uni Rai kepada
peserta #TelisikBudaya.
Saya semakin jatuh cinta sama Uni Rai,
waktu beliau bilang, "Kamera yang paling bagus adalah kamera yang kita
punya. Kamera terbaik adalah kamera yang kita miliki, pahami kamera milik kita,
baik kelemahannya maupun kelebihannya." Kalimat tersebut membuat saya
termotivasi, nyali saya yang awalnya menciut karena melihat semuanya hampir
menggunakan kamera canggih-canggih jadi kembali percaya diri. Saya yang hanya
menggunakan ponsel, dan terbatas dalam pengambilan gambar jadi terpacu untuk
menghasilkan karya.
Adakalanya memang kita dilatih dalam
keterbatasan, bagaimana bisa menjadi lebih kuat, lebih kreatif, dan lebih memaksimalkan
apa yang dipunyai. Hanya ada dua pilihan yang bisa kita pilih, mengeluh dengan
keterbatasan yang kita punyai atau berusaha untuk mengelola keterbatasan
menjadi sebuah hal baik agar kita tidak merasakan kesempitan hati. Ah ... jadi merembes nih mata, makasih
buat motivasinya, ya Un! MasyaAllah, mengingat
kejadian itu membuat saya malu sekaligus bersyukur. Bersyukur karena dimudahkan
dalam belajar banyak ilmu, dan bersyukur karena kerendahan hatilah yang
sebenarnya membuat kedua nara sumber yang mengisi acara #TelisikBudaya berada
dipuncaknya. Saya beruntung bisa ngangsu ilmu dari keduanya. Hari itu Sabtu, 24
Agustus 2019 di Bogor.
Peserta Travel Blog & Photography Workshop juga aktiv dalam bertanya,
salah satunya Amel yang saya kenal waktu Blogger Day di Bandung. Amel bertanya
bagaimana menyikapi soal penggunaan flash. Uni Rai memberikan salah satu
pengalaman yang pernah dimilikinya, ketika harus memotret orang di luar dengan
cuaca yang sangat terang. Karena kulit tubuhnya yang hitam, orang tersebut
semakin tidak terlihat ketika difoto. Maka solusi yang pas adalah dengan dengan
menyalakan flash. Hasil fotonya jadi terlihat cerah sekali, ketika gambar
tersebut diperlihatkan kepada kami. "Ngeflash siang-siang nggak masalah,
apalagi kalau low angle pengambilan
gambarnya," ucap Uni Rai memberikan penjelasan dengan gamblangnya. Pada praktiknya,
saya menerapkan ilmu yang saya pelajari dari Uni Ray dan sukses! Thanks Uni.
Uni Rai juga mengingatkan kepada kami,
untuk memanfaatkan menggunakan 'Flip on'
yang ada di kamera Fujifilm. Jadi dalam pengambilan fotonya kita tidak perlu
nunduk-nunduk, cukup memanfaatkan flip on
yang bisa ditarik dan diambil dari berbagai angle.
Part 5
Teruslah kepakan sayapmu yang tinggi,
teruslah menari dan menari. Indonesia butuh orang-orang yang mencintai dan
melestarikan budayanya hingga ke pelosok negeri. Keanekaragaman budaya yang
dimiliki Indonesia, memiliki ciri khas tersendiri sebagai jatidirinya. Warisan
dari nenek moyang tercinta ini, jangan sampai terkontaminasi nilainya. Sebagai
generasi penerus bangsa yang cinta tanah airnya, mari bersama jadikan budaya
warisan termahal di dunia.
Ingatan saya berlari, ketika tari merak
dipersembahkan oleh sanggar tari dari kampung budaya Sindangbarang. Dahulu
waktu SMA saya pernah belajar menari Merak, untuk perpisahan kelas X11 bersama
sahabat saya. Seolah dejavu, kini saya yang menontonnya. Hangat yang tak biasa
menjalar ke seluruh tubuh, apalagi bersama sahabat-sahabat baru saya yang
mencintai budaya menyaksikan secara langsung. Bahkan mengabadikan setiap
momennya, keajaiban luar biasa yang Tuhan berikan.
Sebelum atraksi dimulai, parade berjalan
mengelilingi halaman dilakukan oleh semua peserta menari. dari anak-anak, remaja, dewasa sampai
orangtua. Duh, mencelos rasanya hati ini melihat semangat adik-adik kecil yang
sungguh membara. Tidak ada keluhan kepanasan ataupun terpaksa, semuanya
sempurna bekerjasama. Dibagian akhir barisan parade, alunan angklung gubrag
begitu merdu terdengar, sampai detik saya menuliskan kisah ini dering suara
angklung gubrag yang dimainkan masih
hangat terdengar. Apalagi tawa-tawa perserta yang membahana, karena
candaan sesepuh perempuan, yang memainkan angklung gubrag begitu menghibur
kami.
Angklung gubrag sendiri, pada jaman
kasepuhan digunakan sebagai iringan ritual menanam dan memanen padi. Tetapi
sekarang lebih luas lagi, dari menanam, menyambut tamu pernikahan dan juga
acara tahunan Seren Taun. Ciri khas
pemain angklung gubrag mengenakan baju kampret, celana pangsi, dan penutup
kepala semacam bando. Jika dahulu angklung gubrag hanya dimainkan oleh
perempuan, berbeda sekarang. Baik perempuan atau laki-laki boleh memainkanya.
Di kampung budaya Sindangbarang tidak
hanya satu dua atraksi, tetapi banyak tarian yang bisa kita nikmati dan kita
kenali sejarahnya. Karena setiap bangsa pasti memiliki masa lalu, yang
mengantarkan pada masa kini. Kalau bukan kita yang berpegang pada akar tradisi
sendiri, bagaimana kita bisa menghargai kebudayaan yang lain bukan? Lantas
tarian apa lagi yang membuat kami tersihir dibuatnya?
Tari Rampak
Gendang
Tari rampak gendang merupakan tarian
yang pertama kali kami tonton, dimainkan oleh tiga penari yang masing-masing
memainkan gendang secara bersama. Mereka terlihat ceria, bahagia dan terus
bergerak menari sambil menabung tongkatnya ke gendang yang ada dihadapannya.
Rampak gendang diambil dari bahasa
sunda, 'rampak' yang berarti kompak, serempak atau bersama-sama. Sementara
'gendang' alat musik yang ditabuh. Adanya kesenian tari rampak gendang ini,
merepresentasikan masyarakat Sunda yang saling guyub.
Kaulinan Barudak
Kaulinan Barudak adalah bahasa Sunda
yang mempunyai arti, permainan anak-anak. Kalau permainannya sendiri, dulu
pernah saya mainkan jaman masih kecil. Di Jawa sebutannya ular naga, dimainkan
oleh banyak anak-anak. Demikian juga halnya pertunjukkan yang kami tonton,
anak-anak bermain dan menari denga ceria dan menggemaskan. Penarinya tidak
memandang usia, ada yang anak-anak dan ada juga yang remaja. Mereka dengan
kompak berlenggak-lenggok, dengan atraktif. Di jaman sekarang Kaulinan Barudak
mendekati punah, karena kalah dengan permainan yang serba digital.
Silat Cimande
Bela diri dari daerah asli Bogor,
dinamakan seni bela diri Silat Cimande. Gerakan-gerakannya terlihat sederhana,
tetapi mampu melumpuhkan lawan. Silat Cimande ternyata sudah ada sejak jaman Si
Pitung lho, keren kan?
Mojang berarti gadis, sementara
Priyangan adalah salah satu daerah yang ada di Sunda. Tari Mojang Priyangan ini
diperagakan oleh dua orang gadis, yang sangat cantik-cantik dan memiliki
paras yang menawan. Mereka didandani bak
putri, dengan pipi yang selalu bersemu merah. Rambutnya yang dicepol dan bibir
yang berwarna merah basah membuat kami semua terpukau. Apalagi lagu yang
mengiringinya, terdengar begitu syahdu.
Tari Parebut
Seeng
Tari Parebut Seeng bagi saya adalah tari
yang penuh dengan drama. Terdengar pula nada saling hantam, meski ini hanya
sebuah tarian tapi tetap saja saya jadi cengeng dan melow hahaha ... Jadi Tari
Parebut Seeng ini, sebenarnya tari yang dipentaskan pada acara pernikahan Sunda.
Parebut memiliki arti merebut, dan 'seeng' merupakan tempat untuk menanak nasi.
Kedua penari Parebut Seeng ini perwakilan dari pihak lelaki dan perempuan.
Jawara wakil dari calon pengantin perempuan, berusaha untuk merebut penanak
nasi dari jawara wakil calon prianya. Seru! Tapi juga mendebarkan.
Sindangbarang di siang yang terik itu
membuat kami jatuh cinta. Apa yang kami rasakan, apa yang disajikan, sayup-sayup
membisikan kepada kami untuk terus mengestafetkan kepada dunia apa yang terjadi
di sini. Kisah ini tidak boleh berhenti di sini, kami harus menyebarkan, kami
harus menuliskan dan mengabarkan kepada dunia jika di Sindangbarang memiliki
atraksi budaya Sunda yang terus dilertarikan. Tidak hanya oleh orang-orang
dewasa, tetapi remaja, para tetua dan juga anak-anak menyajikan atraksi
tradisional yang memanjakan mata.
Bagaimana menuju kampung Sindangbarang?
Perjalanan dari KRL Bogor menuju Kampung
Budaya Sindangbarang, bisa ditempuh dengan waktu 8 km. Kalau tidak macet
jalanan, akan lebih cepat membuat kita sampai. Kami naik angkot berwarna hijau,
yang dipesan oleh IDcorners.
Alamat Kampung Budaya Sindangbarang
Jl. Endang Sumawijaya RT02/RW08. Dukuh
Menteng
Desa Pasir Eurih, Kec. Tamansari Bogor.
Jawa Barat
Web : www.kp-sindangbarang.com
Jam Buka : 09.00-17.00 WIB
Harga tiket masuk :
Rp25.000/orang untuk hari biasa
Rp35.000/orang untuk hari libur
Part 6
Menuliskan Kisah
Perjalanan Hidup bersama Mbak Donna Imelda
Saya ingat pertama kali ketemu Mbak
Donna waktu di Bandung, di jalan masuk menuju Transstudio acara Bloggerday 2019. Beliau sedang mengambil
footage, awalnya saya dan mas suami
nggak berani menyapa karena beliau lagi sibuk. Tapi akhirnya saya beranikan
diri ngajak salaman, kapan lagi salaman sama blogger senior yang hits hehehe ... Kemudian seringnya
berinteraksi melalui instagram walking,
dan selalu takjub perjalanan demi perjalanan yang telah dilaluinya. Lantas
diam-diam saya menyematkan doa-doa, supaya bisa juga merasakan menjejakan
langkah ke tempat-tempat yang pernah beliau datangi.
Berkesempatan mengikuti Travel Photography & Blog Workshop di
Bogor kemarin, hal yang paling saya nantikan adalah ngangsu ilmu dari mbak
Donna. Yang belakangan saya ketahui beliau tidak hanya traveler writer, tetapi juga dosen. MasyaAllah, berkah banget rasanya. Semoga sharing ngangsu ilmu
bareng beliau, yang saya bagikan di postingan ini mampu menambah semakin
berkualitasnya tulisan yang kita tulis di blog.
How To Write Your Great Travel Story
"Sebenarnya selalu ada cerita, di
balik sebuah perjalanan walaupun cuma pergi ke tempat terdekat," begitu
ucap Mbak Donna mengawali pembukaan materi Travel writer. Saya lantas
menyadari, 'iya juga ya'. Nggak usah jauh-jauh ke Bali, untuk menulis cerita
yang menarik ternyata.
"Saat kita menulis, hal pertama yang
harus kita ketahui adalah untuk apa tujuan kita menulis. Karena esensi sebuah
perjalanan, seorang travel writer terletak pada narasinya. Jika tidak ada
narasi, esensi sebuah cerita bisa hilang begitu saja. Misalnya Kita jalan-jalan
ke Eropa, ke Raja Ampat, atau ke tempat lainnya akan menjadi indah dan hebat
ketika kita menuangkannya ke dalam bentuk tulisan." Lagi-lagi saya
manggut-manggut, bener banget apa yang dibilang mbak Donna. Tempat yang menarik
kita datangi, akan menguap begitu saja dari kepala jika tidak kita tuliskan
dalam sebuah cerita.
Jadi tugas yang harus dipegang oleh
Travel Writer adalah, menemukan keunikan sebuah tempat yang akan kita datangi.
Fungsinya apa? Agar kita mudah menentukan angle (sudut cerita). Mbak Donna
lantas bertanya kepada peserta, apakah sebelumnya sudah mencari tahu tentang
Kampung SindangBarang ini? Kebanyakan menjawab belum hahaha ... peserta emang
bandel-bandel.
Kemudian Mbak Donna mencontohkan daerah
banyuwangi, apa yang menarik di sana? Adalah Kawah Ijen yang terkenal dengan
blue firenya. Lalu apa lagi? Jika blue fire sudah diambil untuk dituliskan,
mengapa kita tidak mencari sudut lain yang bisa diceritakan? Contohnya suku
penambangnya dan lain sebagainya. Selain Banyuwangi, Badui, juga Tuban yang
menjadi contoh cerita dengan sudut angle unik yang diambil Mbak Donna dan
membuat kami semakin paham.
Point-point
penting lain yang akan memudahkan kita, dalam menulis sebuah cerita adalah:
Buatlah
ide / Storyline / outline / kerangka
tulisan. Karena storyline penting
untuk mencari data, dan memudahkan kita menggali info lebih dalam
Riset
apa yang akan kita lakukan di sana nantinya (destinasi yang kita tuju)
Lakukan
korespondensi dengan pihak yang berkepentingan
Lakukan
Fast Writing. Tulis aja semua yang ada di kepala, abaikan typo, EYD dan titik
koma
Dapatkan
data dan fakta yang terupdate di lokasi, untuk menghindari salah musim
Saat
di lokasi, nikmati semua perjalanan dan optimalkan semua indera. Misalnya
merasakan cuacanya, udaranya dan lain sebagainya
Interaksi
dengan lokal untuk menggali cerita. Jangan sampai pergi dengan kepala kosong
Angle
tulisan pilih yang sesuai dengan kesukaan kita, untuk memudahkan cerita
Paragraf
jangan panjang-panjang, agar pembaca tidak capek untuk membaca
Hindari
memberikan foto bertumpuk, lebih baik foto satu-satu. "Foto kayak rest
area di blog," ucap mbak Donna
Pilih judul yang simple dan sederhana
dan lain sebagainya
Terima kasih mba Donna, atas ilmu yang
diberikan. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan yang telah dilimpahkan
kepada kami, peserta Travel Photography & Blog Workshop. Terima kasih telah
mengajarkan bagaimana cara menulis yang baik, dan mengajarkan untuk selalu
menjadi diri sendiri dalam menulis.
Part 7
Rumah Sutera; Geli
dan Takjub yang Berbaur Menjadi Satu
Perjalanan belum berakhir, masih ada
satu tempat lagi yang akan kami datangi; Rumah Sutera. Yang letaknya ada di
desa Taman Sari, Bogor. Harusnya ada satu lagi tempat, yang akan kami singgahi
lagi adalah pabrik sepatu. Sayangnya sudah tutup, karena waktu yang belum
berpihak kepada kami.
Dari Sindangbarang kami naik angkot lagi
menuju ke Rumah Sutera yang ternyata lumyan jauh, ditambah angkot yang tidak
kuat menanjak. Kami harus berjalan. Apalagi gang yang harus dilewati angkot,
masih ada lomba tujuhbelasan agustus. Akhirnya kami terus berjalan naik, dengan
peluh yang bercucur dan dahaga yang menyerang. Salut! Dengan kegigihan peserta
yang terus berusaha jalan, meski kelelahan. Ternyata ada dua jalan, yang bisa
dilewati dan jalan yang kami lewati dengan jalan kaki ini bukan jalan utama.
Giliran sudah mau sampai, eh angkotnya baru nongol. Geli dan gemeslah kami
semua, hahaha ... ya Allah kalau ingat bikin ngakak sendiri. Kita segila itu
kawan!
Di Rumah Sutera kami dipandu oleh guide,
yang bernama Pak Yan. Budi daya ulat sutera ternyata, dimulai dari sebuah kebun
murbei. Jenis-jenis daun murbei juga dijabarkan kepada kami, ada 3 jenis daun
yang dikembangbiakan untuk makanan ulat-ulat sutera yang diternakan.
Awalnya saya takut lho, melihat ulat
sutera secara langsung. Ngerasa geli aja dan takut ntar nggak doyan makan
gegara ngelihat. Alhamdulillahnya ternyata tidak, ulat sutera ini makananya
cuma daun dan nggak bikin saya risih setelah dijelaskan oleh Pak Yan.
Proses mendapatkan suteranya diawali
dari ulat-ulat sutera yang tidak mau lagi makan daun murbei. Karena merasa
sudah besar dan tidak lagi doyan, ulat-ulat siap untuk bermetamorfosa menjadi
cocon (kepompong).
Sungguh takjub ketika ulat sutera yan
gmenjadi cocon itu, terlihat memiliki lembaran benang. Bahkan sampai ulatnya
sendiri jadi tidak terlihat. Ada pegawai yang bertugas untuk mengambil cocon,
kemudian ada lagi bagian yang membersihkannya. Tahap akhirnya cocon akan
direbus, lantas baru dipintal menjadi benang.
Apabila benang-benang tersebut sudah
terkumpul dan menjadi banyak. Saatnya untuk ditenun menjadi kain sutera, itulah
mengapa kain sutera mahal. Karena prosesnya luar biasa membuat takjub. Jika
sutera yang dihasilkan oleh ulat lokal Indonesia, berwarna putih. Sementara
sutera dari ulat-ulat, yang pernah dihasilkan dari negeri Thailand berwarna
kuning.
Perbedaannya sangat terlihat jauh, waktu saya memegang benangnya sangat kuat dan halus. Ingatan saya lantas flash back, ke masa ulat-ulat itu berebutan makan daun. MasyaAllah, ulat-ulat sutera memang ditakdirkan, untuk menjadi sebuah lembaran kain sutera yang ternilai harganya. Jadi ingat mutiara di dasar laut, yang ditempat kesakitan hingga menjadi sebutir mutiara yang mahal harganya. Masing-masing dari kita, ternyata memiliki garis takdir hidupnya sendiri-sendiri.
Perbedaannya sangat terlihat jauh, waktu saya memegang benangnya sangat kuat dan halus. Ingatan saya lantas flash back, ke masa ulat-ulat itu berebutan makan daun. MasyaAllah, ulat-ulat sutera memang ditakdirkan, untuk menjadi sebuah lembaran kain sutera yang ternilai harganya. Jadi ingat mutiara di dasar laut, yang ditempat kesakitan hingga menjadi sebutir mutiara yang mahal harganya. Masing-masing dari kita, ternyata memiliki garis takdir hidupnya sendiri-sendiri.
Wisata Rumah Sutera
Dari pusat Kota Bogor, Rumah Sutera bisa
ditempuh dengan jarak 10 kimometer. Ada budidaya ulat sutera dan proses
pembuatan liur sutera, menjadi kain yang sangat indah dan mahal. Siap-siap
menikmati hamparan kebun murbei yang hijau, ulat-ulat sutera yang menggeliat gemuk
dan juga pegawai-pegawai terlatih dalam memintal benang. Siapkan juga dompet tebal untuk
memborong aneka motif kain sutera, yang pasti bikin kita takjub dibuatnya. Ada
dalam bentuk syal, kerudung dan juga cinderamata kepompong sutra.
Alamat Rumah Sutera Alam
Jl. Ciapus Raya KM.8 No.100
Pasireurih. Kec. Tamansari Bogor. Jawa
Barat 16610.
TLP : 0251-8388227
Jam Buka : 08.00-16.00
WIB
Harga tiket masuk : Rp.20.000/orang
Part 8
Terima kasih
Fujifilm untuk pengalaman berharganya
Kalau bukan karena ikutan Travel Photography & Blog Workshop
dari IDcorners, kemungkinan saya tidak akan merasakan bagaimana menggunakan
kamera Fujifilm. Ini kali pertama saya memegang kamera Fujifilm, dan saya
langsung jatuh cinta dibuatnya. Ketika mendengar soal harganya, aduh ... harus bisa nabung beli nih.
Apalagi buat amunisi ngeblog, dan bikin video dalam menghasilkan proses konten
kreatif.
Ditambah Uni Rai yang bilang jika
Fujifilm yang dipinjamkan kepada kami, pas digunakan untuk travel blogger
karena kriterianya pas untk digunakan. Makin mupenglah kepengen punya kamera
juga, semoga ada rejeki bisa punya aamiiin. Selain itu Uni Rai diawal workshop
menekankan kepada kami untuk menggunakan flip on pada Fujifilm dengan
memaksimalkannya, yang kami pakai hari itu. Tanpa perlu nunduk-nunduk, kami pun
bisa mendapatkan foto yang ciamik.
Saya agak gemetaran lho waktu memegang
kamera Fujifilm XT100, yang dipinjamkan kepada Zain untuk keperluan memotret.
Begitu kokoh waktu dipegang dan pengoperasiannya begitu simple. Meski saya
hanya melakukan jepretan beberapa kali, tapi saya merasakan kepuasan untuk
hasilnya.
Terima kasih untuk IDcorners atas
kesempatannya. Terima kasih untuk Fujifilm untuk pengalaman berharganya. Terima
kasih kepada Uni Rai dan Mba Donna yang sudah menurunkan ilmu kanuragannya hehehe ... dan terima kasih kepada
segenap sahabat yang ikutan acaranya. Semoga kita semua bisa saling bersinergi
dan terus bersilaturahmi. Semoga bisa bersahabat di dunia dan disurga, menerbar
kebaikan bersama dan terus berkarya. Semangat kita untuk Indonesia! Semangat
melestarikan budaya dengan segenap jiwa!
Sumber postingan:
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/menyambangi-bekas-kasepuhan-sunda-di-kampung-budaya-sindang-barang
Foto
by IDcorners, peserta workshop dan dari ponsel pribadi
Google.com
Pengen lagi ya ada workshop yang kayak gini lagi. Semoga blogger Semarang bisa nih ngadain. Ditunggu lohhh...
BalasHapusaamiin ya Allah ya Mba Nurul hahahha
HapusNah Nyi kalau dari Bogor rumahku dekat, aku di kabupaten Bogor tepatnya Cibinong Bogor. Aku suka Bogor karena cuacanya mirip Bandung. Dan dulu kerja di Semarang rumahku kabupaten Demak, sekarang kerja di Jakarta rumahku kabupaten Bogor. Belum dijodohkan lagi nih kita ketemu di Bogor dan Jakarta, aku naksir sutera alam Bogornya nih hehe..
BalasHapusIya nih Mba Vit.
HapusTahu gitu jane main dulu hahaha ke Bogor dua kali gagal ketemu terus kitah
Ya ampyuuun seruu bgt acaranya
BalasHapusAku ngikutin lewat IG story bbrp teman dan omigoddd moga2 next time aku bisa ikutaaann
Asli nggak boong bahagia kak bisa ikutan acara IDcorners
HapusSeru banget acaranya yah, jadi tau berbagai kebudayaan yang ada. Ngeliat ulat sutera itu gemes banget, putih2 geli hehe
BalasHapuswakakak gemges-gemes geli Kak wkwkw
Hapustapi jadi tahu sekarang pembautan sutera ternyaata sungguh luar biasa
Acara sarat ilmu banget ya Mbaaa
BalasHapusMupeeenggg
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Ikutan kak kalo lain kali ada ya hehehe
Hapusbiar nambah silaturahmi juga. Semangat
Ini deket sama rumah ku hehe dan aku pernah juga bikin acara disini, tempatnya emang asyik buat healing wwkwkw
BalasHapushuwaaa tau gitu mampir ke rumahmu ya Kak hahahaa
HapusBeruntung banget bisa ikutan acara teisik budaya Sindangbarang ya, Nyi. Awalnya aku juga mau daftar tapi batal karena ada sesuatu yang nggak bisa ditinggal. Baca tulisan Nyi aja udah bisa membayangkan betapa seru acaranya. Semoga suatu hari bisa kesana.
BalasHapusWah lengkap sekali ceritanya, seru sekali dan pasti senang di sana.
BalasHapusNgeliat ulat sutera itu kok geli sendiri hahaha, tapi takjub juga ya liat proses pembuatan kain suteranya itu.
Seru banget ini acaranya belajar fotografi sambil menambah wawasan di kampung budaya Sindangbarang. Beruntung banget mba bisa ikutan. Aku tau info ini tapi sayang aku lagi banyak kerjaan jadi nggak daftar deh. Kapan-kapan semoga bisa juga ikutan acara serupa.
BalasHapusNyi pasti bahagia abis ikut acara di Sindangbarang ini ya. AKu yang envy karena gagal ikut, padahal udah sejak lama pengen wisata di kampung Sindangbarang. Ntar kalo ke Bogor mau ngajakin keluarga suami rombongan kesana. Aku mupeng cara proses dari cocon sampai jadi benang yang dipintal itu
BalasHapusSeru banget Mba Hiday.
HapusDolan sini kapan2 ya
Perjalanannya seru banget ya, Nyi...
BalasHapusKalo cape boosternya pake apa siih..?
Berasa banget padatnya jadwal Nyi kalo liat produktifitas di IG.
Bener-bener kamera terbaik.
Nyi...
HapusAda tips foto dari jauh gak..?
Kadang suka gak dapet momennya...
Mba Lendy aduduw udah komen dua kali belum kubalas ya wkwkwk
HapusBosternya apa ya wkwkwk bismillah aja ngangsu ilmu
Memotret dari jauh kalo kata uni Ray, perbesar kameranya gitu. Kalau kita paling di zoom out kali ya kalo via ponsel
Kamu ye kan..udh pulang ga bilang-bilang. Ga jadi meet up deh
BalasHapusAku liat area sindang barang di Bogor ini acaranya seru banget ya..ada ilmu, pertunjukan seni. Kegiatan bermanfaat dan mengedukasi
Maapkan daku Thie kamu ya sibuk wkwkwk
Hapushayok dolan Sindangbarang
Ahahaha, Sindang Barang ini dket sama rumah aku, malah aku belum pernah masuk dan eksplor di sini, kebngeten ya, hehe. Mungkin jika ada temen, rame-rame, lebih semangat ya
BalasHapusHayuk Mba NEf main ke sini, agendakan bareng blogger2 Bogor gih
HapusWah, Nyi Penengah ikut acara IDC juga? Coba saya ikutan, ya. Kita bisa kopdar untuk pertama kalinya hehehe.
BalasHapusSaya pengen banget ikut. Tetapi, hati kayak ada yang menahan-nahan buat daftar. Gak tau kenapa. Sampai akhirnya saya putusin gak ikut.
Ternyata anak saya kecelakaan. Ya mungkin itu feeling ibu, ya. Mudah-mudahan aja IDC bikin lagi acara keren begini
Ya Allah kak. Semoga lekas membaik ya.
HapusNggakpapa lain kali mba. Anak lebh penting.
Nyi..terima kasih utk tulisan ini. Aku jadi ikut belajar dan seolah berkunjung langsung ke sana. Mudah2an bisa ke sana juga suatu saat nanti..dan mudah2an bisa memiliki kamera keren itu juga.. Aamiin..
BalasHapusAmmin ya Allah mba Tan. Doa-doa terbaik buat kita
HapusKebetulan dong punya,
BalasHapusKapan mau ke sana boleh mampir yaaa..
Kekecewaan saya ga bisa ikut acara ini karena sudah ikut acara lain sedikit terobati dengan adanya reportase Nyi ini. Terimakasih ya...
HapusSeru banget mbak Nyi, saya sudah beberapa kali ke kampung ini waktu tinggal di Bogor. Apalagi bareng teman travel blogger gini kegiatannya pasti mantap.
BalasHapusNggak pernah bosan ya Mba main ke sini hehehe
Hapusseru banget acaranya. Happi
Aku lihat foto temen temen di kampung budaya ini jadi mupeng banget deh dan pengen ngajak anak anak ke sana. Makasih info lengkapnya ya mba
BalasHapusSama-sama bund.
HapusWah sudut ngambil fotonya bagus2 mbak. Saya suka! Saya suka! 😘 Jadi belajar teknik fotografi juga nih. Makasih sharingnya.
BalasHapusHayuk saling belajar mba Sri
HapusKaapan2 nimba ilmu langsung ke Uni Ray
Ini deket lho dari rumah aku di depok.. belajar budaya yang deket deket dulu deh.. InshaAllah mau juga ah main main ke kampung budaya sindangbarang.. seingat aku ada teman aku juga yang rumahnya disekitar sana.. sekalian silaturrahmi juga kesana nanti..
BalasHapusNonton Seren Taunnya ga mba Elly?
HapusSedang berlangsung kan sekarang
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBener-bener seru abis ya kesana kita bisa mengenal bidaya sunda dan sayur asemnya itu lho yang bikin kangen hehe.
BalasHapusEnak banget makanan yo Kak, aku juga pengen ke sana lagi deh
HapusDuh neyesel aku ga ikutan ke sana, bentrk banget waktunya soalnya. Nti aja jauh-jauh ikutan ya. Apalagi aku sunda banget pasti cocok lah sama makananya
BalasHapusMba Fit jebulnya orang sunda to. Tapi dapet orang Semarang ya wkwkwk
HapusSenang sekali baca tulisanmu ini Nyi, lengkap sekali menggambarkan kekayaan budaya yang ada di Sindang Barang. Insya Allah ntar ke Lampung barengan Uni Rai juga, semoga mendapat kesempatan untuk menimba ilmu fotografi ke beliau ya.
BalasHapusIya mba uniek seru banget bahagia.
HapusWaaa jangan lupa berguru, dan manfaatkan waktu dengan baik
Kayak bukan di Bogor ya, nggak percaya dekat di sini. Jadi travel writer harus bisa mengangkat angle cerita ya. Biar orang-orang pada berkunjung ke desa Sindang. Asyik bisa jalan-jalan kesini.
BalasHapusKeren ya Mba OV. hahaha pengen dolan rono maneh pas ada acara Seren Taun
HapusBaru tahu Bogor kota seribu angkot. Belum pernah ke sana soalnya btw ulasan perjalanannya lengkap banget. Pastinya berkesan juga ya apalagi diajak untuk mengenal warisan budaya yang ada di Sindang Barang
BalasHapusMembahagiakan banget Mba Sis.
HapusAyok main ke Sindangbarang
Wah.... Senengnya bisa ikutan acara di sindang barang... Seru banget acaranya ya..
BalasHapusBanget mBa Sus, yok main ke Sindangbarang
Hapusaku kagum sama kearifan lokal di sindang barang semoga suatu hari bisa main kesana
BalasHapusAamiin ya Allah mba Rizka
HapusSenengnya Kak Nyi. Aku belum pernah dengar soal Sindang Barang sebelumnya.
BalasHapusBaca blogpost Kak Nyi yang sekomplit ini jadi pengen main ke sana. Aseli! Kekayan budaya Indonesia itu luar biasa ya :)
Asli Ntan. Nggak akan habis-habis saking kayanya Indonesia
HapusBaca tentang Kampung Sindang Barang jadi ingat pas diajak jalan-jalan ke salah satu desa di Banyumas. Tapi yang ini bacanya puas banget, Mba. Kayak ikut melihat langsung pertunjukan budaya di sana.
BalasHapusSemoga kamu bisa kesampaian main ke Sindangbarang ya Mba
HapusAku suka banget tempat seperti ini, memahami kebudayaan kita lebih dekat lagi. Mau ajak anak anak tapi kayaknya rutenya belum ramah ya buat balita?
BalasHapusiya bund berkelok-kelok dan terjal.
HapusNunggu dedek gedean dikit bund
Keren banget Nyi jalan-jalan asyik sekaligus dapat pengalaman berharga ya. Kumpul sama temen2 sefrekuensi adalah energi baik yang disyukuri.
BalasHapuslengkap banget ya tulisanmu, dan ini perlu banget dibuat dibuat sebagai usaha pelestarian budaya, apalagi kayak ada desa nya, jadi kalo pengen tahu bisa datang main ke sana ya. Di Bengkulu juga mulai ada kayak kampung batik besurek, kampung sejarah dll
BalasHapusKeren banget Nyi pengalaman hidupmu, mantap jaya deh abis ini bakal makin kece tulisan dan foto di blogmu. Ketemu Mbk Donna pula yang tulisan kisah perjalanannya kece banget. Widiw mupeng ada acara kayak gini di Lampung.
BalasHapusKusedot ilmu motret dan travel writernya, ya, Mbak. Sebenarnya memang nggak harus pergi jauh-jauh untuk bisa menciptakan tulisan perjalanan, ya.
BalasHapusAlhamdulillah, bermanfaat ya acaranya, Nyi, turut senang bacanya dan serasa hadir di sana..
BalasHapus